Adab Muslim Dalam Muamalah Hutang-Piutang
Adab Muslim Dalam Muamalah Hutang-Piutang
Oleh: Team Dakwah DKMT Al-Ikhlas Pamoyanan
Jamaah Muslimin Muslimat
Rahimakumullah...
Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari
yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan
ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah
tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula
yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga
mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari
orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi
diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa
mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan
seseorang ke dalam neraka.
A. PENGERTIAN HUTANG PIUTANG
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal
dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah
Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang
berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang
memberikan hutang.(1)
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah
menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang
akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai
dengan padanannya.(2)
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang
menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di
kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi
pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan
mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
B. HUKUM HUTANG PIUTANG
Hukum Hutang piutang pada asalnya DIPERBOLEHKAN dalam syariat Islam. Bahkan
orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat
membutuhkan adalah hal yang DISUKAI dan DIANJURKAN, karena di dalamnya terdapat
pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang
piutang ialah sebagaimana berikut ini:
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wa ta'ala:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ
أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (245)
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada
Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah
akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.
Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’,
bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam pernah meminjam seekor unta kepada
seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau
menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’
kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah
seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,
“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling
baik dalam mengembalikan hutang.” (3)
Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam juga bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ
كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman
kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu
kali.” . Hadits ini di-hasan-kan oleh
Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil
(no.1389).)t(HR. Ibnu Majah
II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud
Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma’ tentang
disyariatkannya hutang piutang (peminjaman).
C. PERINGATAN KERAS TENTANG HUTANG
Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum
berhutang atau meminta pinjaman adalah DIPERBOLEHKAN, dan bukanlah sesuatu yang
dicela atau dibenci, karena Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam pernah
berhutang.(4) Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar
menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau
tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut Rasulullah Shallallahu'alaihi
wa sallammerupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari.
Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi
wa sallam (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang,
maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR.
Bukhari).
Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam pernah menolak
menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan
tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah Shallallahu'alaihi
wa sallam bersabda:
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Akan diampuni orang yang mati syahid
semua dosanya, kecuali hutangnya.” ).t(HR. Muslim
III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash
Diriwayatkan dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari Rasulullah Shallallahu'alaihi
wa sallam, bahwa Beliau bersabda:
« مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ
الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ »
“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari
jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama)
bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan hutang.” (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan
di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi
wa sallam bersabda:
« نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ »
“Jiwa orang mukmin bergantung pada
hutangnya hingga dilunasi.”(HR. Ibnu Majah II/806 no.2413, dan
At-Tirmidzi III/389 no.1078. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
Dari Ibnu Umar radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi
wa sallam bersabda:
« مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ
لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ »
“Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan
menanggung hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan
diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak
(pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan
di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
عَنْ أَبِى قَتَادَةَ أَنَّهُ سَمِعَهُ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَامَ فِيهِمْ فَذَكَرَ لَهُمْ « أَنَّ الْجِهَادَ فِى
سَبِيلِ اللَّهِ وَالإِيمَانَ بِاللَّهِ أَفْضَلُ الأَعْمَالِ ». فَقَامَ رَجُلٌ
فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ تُكَفَّرُ
عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ
إِنْ قُتِلْتَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ
مُدْبِرٍ ». ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كَيْفَ قُلْتَ ».
قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى
خَطَايَاىَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ وَأَنْتَ
صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ
عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ »
Dari Abu Qatadah radhiyallahu'anhu,
bahwasannya Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam pernah berdiri di
tengah-tengah para sahabat, lalu Beliau mengingatkan mereka bahwa jihad di
jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal. Kemudian
berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu
jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus dariku?” Maka
jawab Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam kepadanya “Ya, jika
engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala, maju
pantang melarikan diri.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Melainkan hutang,
karena sesungguhnya Jibril ’alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku.” (HR. Muslim III/1501 no: 1885, At-Tirmidzi IV/412 no:1712, dan an-Nasa’i VI:
34 no.3157. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil no:
1197).
D. SYARAT PIUTANG MENJADI AMAL SHOLIH
1. Harta yang dihutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya,
bukan harta yang haram atau tercampur dengan sesuatu yang haram.
2. Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti
penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
3. Pemberi piutang / pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan
ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata. Tidak ada maksud
riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar kebaikannya oleh orang lain).
4. Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan
sedikitpun bagi pemberi pinjaman.
E. BEBERAPA ADAB ISLAMI DALAM HUTANG
PIUTANG
Bagaimana Islam mengatur berhutang-piutang yang membawa pelakunya ke
surga dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah
ini:
[1]. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya firman Allah Subhanahu wa ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ
مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ
كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي
عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا
فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا
يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ
فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا
مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى
أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى
أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ
وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
(282)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika
mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada
dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini
merupakan petunjuk dari-Nya untuk para hamba-Nya yang mukmin. Jika mereka
bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga
jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat: “Hal itu lebih adil di
sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”. (5)
[2]. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau
manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”.
Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.
Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat
apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama.
Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat
oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari
pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan
mencari kompensasi atau keuntungan.(6) Dengan dasar itu, berarti pinjaman
berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini
jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga
bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah Subhanahu
wa ta'ala.
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui,
tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang
disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan, “saya beri anda hutang
dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan
syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”.
Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah
atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang,adapun jika yang berhutang
menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat
dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang
mengambil tambahan.(7)
[3]. Melunasi hutang dengan cara yang baik
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى
النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ
فَقَالَ – صلى الله عليه وسلم – « أَعْطُوهُ » . فَطَلَبُوا سِنَّهُ ، فَلَمْ
يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا فَوْقَهَا . فَقَالَ « أَعْطُوهُ » . فَقَالَ
أَوْفَيْتَنِى ، وَفَّى اللَّهُ بِكَ . قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – «
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً »
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang
kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang
menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka
mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali
yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia
pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu
wa ta'ala membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam
bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian
(hutang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.)
وعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله
عليه وسلم – وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ – وَكَانَ لِى عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِى
وَزَادَنِى
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu'anhu ia berkata: “Aku mendatangi
Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang
kepadaku, lalu beliau membayarnya dan menambahkannya”. (HR. Bukhari, II/843, bab husnul Qadha’, no. 2264)
Termasuk cara yang baik dalam melunasi hutang adalah melunasinya tepat
pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah
pihak (pemberi dan penerima hutang), melunasi hutang di rumah atau tempat
tinggal pemberi hutang, dan semisalnya.
[4]. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat
zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak
diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه
وسلم – قَالَ « مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ
عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ »
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, ia berkata bahwa Nabi
Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang
lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah
Shallallahu'alaihi wa sallam akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa
mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah
Shallallahu'alaihi wa sallam akan membinasakannya”. (HR. Bukhari, II/841 bab man akhodza amwala an-naasi yuridu
ada’aha, no. 2257)
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang,
karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi di atas. Berapa banyak orang
yang berhutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun
memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang bertekad
pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai
dengan niat yang baik, maka Allah Shallallahu'alaihi wa sallam membinasakan
hidupnya dengan hutang tersebut. Allah Shallallahu'alaihi wa sallam melelahkan
badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena
memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana
dengan akhirat yang kekal nan abadi?
[5]. Berupaya untuk berhutang dari orang sholih yang memiliki profesi
dan penghasilan yang halal.
Sehingga dengan meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat
menenangkan jiwa dan menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram. Sehingga
harta pinjaman tersebut ketika kita gunakan untuk suatu hajat menjadi berkah
dan mendatangkan ridho Allah. Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat
menjamin penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang haram.
[6]. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain
berhutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau
sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya.
Tidak sepantasnya berhutang untuk membeli rumah baru, kendaraan, laptop
model terbaru, atau sejenisnya dengan maksud berbangga-banggaan atau menjaga
kegengsian dalam gaya hidup. Padahal dia sudah punya harta atau penghasilan
yang mencukupi kebutuhan pokoknya.
[7]. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau
peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan
syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya,
membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya
adalah sabda Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam:
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan
At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”.)
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil
bunga yang diharamkan.
[8]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah
orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan
memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih
sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
[9]. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa
pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « عَلَى الْيَدِ
مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّىَ »
, Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:tDari Samurah “Tangan bertanggung jawab atas semua yang
diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam Kitab
Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya.)
[10]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas
hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk
memohonnya.
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini (artinya):
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu'anhu, ia berkata: (Ayahku) Abdullah
meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada
pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka
enggan. Akupun mendatangi Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam meminta syafaat
(bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau Shallallahu'alaihi
wa sallam berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid
satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu
datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau Shallallahu'alaihi wa
sallam pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan
kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab
Al-Istiqradh, no. 2405)
[11]. Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera
mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu.
Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka
ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana hadits berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله
عليه وسلم – قَالَ « مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ
عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ »
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi
wa sallam bersabda: “Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh
orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada
orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan
tersebut)”. .)t(HR. Bukhari dalam
Shahihnya IV/585 no.2287, dan Muslim dalam Shahihnya V/471 no.3978, dari hadits
Abu Hurairah
[12]. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang
kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280)
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).
Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia berkata,
Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
« مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ – فَلْيُنْظِرْ
مُعْسِرًا أَوْ لِيَضَعْ لَهُ »
“Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari
kiamat, pen), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang
yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (HR Ibnu Majah II/808 no. 2419. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani)
قَالَ حُذَيْفَةُ وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ « إِنَّ رَجُلاً كَانَ فِيمَنْ
كَانَ قَبْلَكُمْ أَتَاهُ الْمَلَكُ لِيَقْبِضَ رُوحَهُ فَقِيلَ لَهُ هَلْ
عَمِلْتَ مِنْ خَيْرٍ قَالَ مَا أَعْلَمُ ، قِيلَ لَهُ انْظُرْ . قَالَ مَا
أَعْلَمُ شَيْئًا غَيْرَ أَنِّى كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فِى الدُّنْيَا
وَأُجَازِيهِمْ ، فَأُنْظِرُ الْمُوسِرَ ، وَأَتَجَاوَزُ عَنِ الْمُعْسِرِ .
فَأَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ »
Dari sahabat Hudzaifah, beliau pernah mendengar Rasulullah
Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
“Ada seorang laki-laki yang hidup di zaman sebelum kalian. Lalu
datanglah seorang malaikat maut yang akan mencabut rohnya. Dikatakan kepadanya
(oleh malaikat maut): “Apakah engkau telah berbuat kebaikan?” Laki-laki itu
menjawab: “Aku tidak mengetahuinya.” Malaikat maut berkata: “ Telitilah kembali
apakah engkau telah berbuat kebaikan.” Dia menjawab: “Aku tidak mengetahui
sesuatu pun amalan baik yang telah aku lakukan selain bahwa dahulu aku suka
berjual beli barang dengan manusia ketika di dunia dan aku selalu mencukupi
kebutuhan mereka. Aku memberi keluasan dalam pembayaran hutang bagi orang yang
memiliki kemampuan dan aku membebaskan tanggungan orang yang kesulitan.” Maka
Allah (dengan sebab itu) memasukkannya ke dalam surga.”(HR. Bukhari III/1272 no.3266)
Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam hutang
piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang
lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan hutang.
Catatan Kaki:
Orang yang berutang hendaknya ada niat yang kuat untuk mengembalikan. Orang
yang memiliki niat seperti ini akan ditolong oleh Allah Subhanahu Wata’ala
UTANG-PIUTANG merupakan aktifitas yang tidak mungkin dihindari dalam kehidupan banyak
orang. Islam membolehkan utang-piutang tapi dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, orang yang ingin
berutang hendaklah benar-benar karena terpaksa. Sebab menurut Rasulullah, utang
merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari.
Bahkan beliau pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui
masih meninggalkan utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya.
Rasulullah bersabda,“Akan diampuni orang yang mati syahid
semua dosanya, kecuali utangnya.” (Riwayat Muslim).
Kedua, orang yang berutang hendaknya ada niat
yang kuat untuk mengembalikan. Orang yang memiliki niat seperti ini akan
ditolong oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa
Nabi Subhanahu Wata’ala bersabda: “Barangsiapa
yang mengambil harta orang lain (berutang) dengan tujuan untuk membayarnya
(mengembalikannya), maka Allah subhanahuwata’aala akan tunaikan untuknya. Dan
barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka
Allah akan membinasakannya.” (Riwayat Bukhari)
Ketiga, harus ditulis dan dipersaksikan. Dua
pihak yang melakukan transaksi utang piutang hendaknya menulis dan
dipersaksikan oleh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah Surat
al-Baqarah [2] ayat 282.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini sebagai petunjuk dari Allah
subhanahu Wata’ala jika ada pihak yang bermuamalah dengan transaksi non tunai,
hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlah, waktu dan lebih menguatkan saksi.
Keempat, pemberi utang tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang
berutang. Hal ini karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si
peminjam dan menolongnya, bukan mencari kompensasi atau keuntungan. Bahkan
dianjurkan memberi penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam
melunasi utangnya setelah jatuh tempo. Hal ini berdasar firman Allah dalam
Al-Baqarah ayat 280 serta sabda Rasulullah yang berbunyi, ”Barangsiapa ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari
kiamat, pent), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan utang bagi orang
yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan utangnya.” (Riwayat Ibnu Majah)
Kelima, orang yang berutang hendaknya segera melunasi utangnya jika sudah mempunyai
uang dan memberikan hadiah kepada yang memberi pinjaman. Rasulullah bersabda,
“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezaliman.”
(Riwayat Bukhari).
Setelah itu dianjurkan memberi hadiah. Dalam sebuah riwayat dari Abu
Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah mempunyai utang kepada seseorang berupa
seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka)
beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian
mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan
kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata, “Berikan
kepadanya.” Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga
Allah membalas dengan setimpal”. Maka Nabi bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah
orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang).” (Riwayat Bukhari)
Keenam, jika orang yang berutang tidak mampu mengembalikan, boleh mengajukan
pemutihan dan juga mencari perantara untuk memohonnya. Dari Jabir bin Abdullah,
ia berkata, “(Ayahku) Abdullah meninggal dan
dia meninggalkan banyak anak dan utang. Maka aku memohon kepada pemilik utang
agar mereka mau mengurangi jumlah utangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun
mendatangi Rasulullah meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun)
merekapun tidak mau. Beliau berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya.
Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu
kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau pun
datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih
tersisa seperti tidak disentuh.” (Riwayat Bukhari).*
[Sumber: MAJALAH PENGUSAHA MUSLIM Edisi 12 Volume 1 / 15 November 2010]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar